Setiap perhelatan demokrasi, baik di tingkat lokal maupun nasional selalu ada harapan tentang praktik politik yang ideal. Politik yang mencita-citakan demokrasi substansial, tak sekadar demokrasi seremonial-prosedural.
Harapan ini tentu tak menginginkan pemimpin yang lahir dari hasil transaksional, jual beli suara di ‘pasar gelap’ demokrasi.
Soal yang muncul adalah, apakah ada calon pemimpin yang tak menggunakan uang untuk mendapat simpati dan ‘suara’ pemilih? Apakah selama ini pemilih bergerak ke TPS karena kesadaran politik atau digerakkan oleh faktor eksternal, yang salah satunya adalah uang? Mengapa rata-rata kandidat tak memiliki kepercayaan diri untuk berkompetisi jika tak memiliki modal uang yang cukup?
Hampir setiap calon yang tampil di gelanggang politik selama ini, memang fakir gagasan yang membumi dalam membangun kota, kebanyakan mereka masih terkesan menjual mimpi-mimpi yang bisa mengelabui publik seolah-olah memiliki visi ideal, dan ironisnya tidak ada satu calon pun yang menampik secara tegas dan berani menyatakan ‘tidak’ untuk politik uang.
Lazimnya, sebagaimana calon legislator dalam pemilu yang lalu, mereka bakal calon walikota juga mengandalkan beragam janji politik yang akan ditebar ke seluruh pusat keramaian, pada jantung kerumunan warga. Di hadapan publik, bisa ditebak, mereka akan hadir silih berganti, menyuguhkan pandangan dan janji politik yang saling menyindir-nyinyir, merangkai retotika. Begitulah bangunan politik kita, sadis dan memprihatinkan. Seru tapi memilukan.
Bahkan, ada beberapa calon yang secara terang-terangan telah mengkalkulasi biaya dengan mengkonversi satu suara pemilih dengan besaran 100 hingga 200 ribu rupiah, dengan asumsi akan memenangkan pertarungan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) nanti dengan modal 15 miliar hingga 30 miliar rupiah.
Politik Gagasan Vs Politik Uang
Uang selalu menjadi prasyarat utama kontestan Pemilu, sehingga mustahil orang yang tak memiliki modal/uang bisa menjadi peserta “serius” pemilu, jika pun ada, mereka biasanya hanya dijadikan pelengkap dalam pesta demokrasi prosedural.
Orang yang tak memiliki uang dan tetap nekad mencalonkan diri dengan modal gagasan selalu menjadi olok-olokan sebagai orang yang tidak mengukur diri untuk terlibat dalam pesta demokrasi tersebut, meskipun pada dasarnya setiap orang memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih dalam Pemilu.
Hal tersebut memaksa kita untuk sampai pada kesimpulan bahwa bangunan demokrasi kita telah jauh meninggalkan politik gagasan sebagaimana dulu pernah diperkenalkan pada era awal bangunan kebangsaan ini dirancangbangun. Partai politik pun lebih banyak dimiliki oleh para cukong dan pemodal yang setiap hari menyibukkan diri dengan pencitraan dalam rangka untuk merebut kekuasaan dengan berbagai cara, berkuasa kemudian memuluskan bisnisnya.
Tak ketinggalan para cukong yang belum berkesempatan atau tak ingin mendirikan partai politik, berlomba-lomba mendanai kandidat calon peserta pemilu yang berpeluang menang untuk akhirnya menjadi boneka yang dikendalikan.
Hilangnya politik gagasan ini menjadi ancaman serius untuk masa depan demokrasi lokal kita, bahkan demokrasi di Indonesia secara umum. Kepala daerah yang berorientasi pada kekuasaan an sich dan mengabaikan gagasan membangun daerah yang maju, kreatif dan berdaya saing dengan pelibatan warga, dapat dipastikan akan selalu memunggungi rakyat.
Jika kasus seperti ini terus berulang dari pemilu ke pemilu, maka tak ada jalan lain yang harus ditempuh selain melakukan konsolidasi demokrasi secara massif dan sistemik. Kelompok warga, pemuda, jurnalis dan intelektual yang tercerahkan harus bersatu padu menjadi kekuatan kolektif melawan cukong, pemodal dan pencoleng demokrasi. Demokrasi tak boleh dibegal.
Isaiah Berlin, dalam bukunya The Power of Ideas, mewanti-wanti pentingnya gagasan bagi kemajuan peradaban manusia. Para politisi yang hanya hadir menjelang dan ketika pemilu atau Pilkada, menjadi tanda dan petunjuk penting bagi rakyat, bahwa merekalah aktor-aktor yang berpotensi besar menyimpangkan tujuan demokrasi sehingga tidak pernah sampai pada kesejahteraan rakyat.
Menjadi catatan penting bagi kita bahwa mereka yang selama ini abai tentang pentingnya gagasan dalam membangun kehidupan sosial politik, dan hanya sibuk melakukan pencitraan dan cenderung menyepelekan harkat dan martabat rakyat dengan menakarnya seharga 200 ribu persuara dapat dipastikan akan memperburuk dan menjadikan masa depan rakyat jatuh dalam kubangan penderitaan kemiskinan dan keterbelakangan.
Lantas, cukupkah kita untuk mengeluh? Berdiskusi sepanjang malam dan menawarkan solusi-solusi hanya pada ruang-ruang sempit, kemudian menguap dibawa angin malam dan segera berlalu dibakar panas matahari, tanpa menghasilkan perubahan apapun? Jawabnya tentu saja tidak! Gagasan-gagasan yang baik, inovotif dan kreatif, tidak boleh tergenang pada satu tempat yang tidak berdampak apa-apa pada perubahan, gagasan tersebut harus ikut dipasarkan dan dipertarungkan dengan politik uang yang kotor.
Kita tetap harus optimis. Kita tetap harus terus menerus mendorong setiap pasangan calon untuk mencari dan paham list masalah daerah dan segera memasarkan gagasannya untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Berhenti berkutat pada isu-isu remeh, asli daerah atau bukan, wonge dewe atau wong lian. Rakyat butuh sejahtera, daerah perlu ditata agar maju dan memiliki daya saing.
Politik gagasan harus menjadi sesuatu yang layak dipilih oleh rakyat, oleh itu dibutuhkan ikhtiar, kerja keras dan pengorbanan yang besar untuk memasarkannya secara terus menerus. Selama para cukong dan pencoleng demokrasi itu terus menerus bergentayangan di setiap pasar pemilu, pada saat itu juga pekerjaan untuk menjadikan politik gagasan sebagai pilihan rakyat, tak boleh berakhir. Lawan!!!
Posting Komentar