“Tahukah kamu
orang-orang yang mendustakan agama, yaitu mereka yang menghardik anak yatim,
tidak memberi makan orang-orang miskin, dan orang-orang shalat yang celaka,
yang pamer dan ingin dilihat dan enggan mengulurkan bantuan.” (Qs. Al-Ma’un,
1-7)
Sejak kapan agama mulai sering dinistakan? Kenapa
orang-orang sibuk berkonflik tentang teks suci atau dalil agama yang dilecehkan
ketika dalili-dalil agama yang dianggap dilecehkan itu “membentur” zona
kekuasaan dan kapital? Apakah mereka yang mengabaikan kehidupan anak yatim,
membiarkan penggusuran, tidak memberi makan orang miskin, atau pengusaha miskin
yang mengupah karyawannya di bawah standar, tidak termasuk yang menistakan
agama hanya lantaran ia berpeci, berkalung sorban, berjuntai tasbih?
Apakah, para ulama yang hidup serba berkecukupan tetapi
berjarak dengan orang-orang mustadhafien tidak menistakan agama? Apakah
para politisi yang sering mengutip ayat ketika kampanye, tetapi setelah menjadi
pejabat melupakan rakyat bahkan terjebak dalam sengkarut korupsi tidak
menistakan agama? Apakah orang-orang yang lekat dengan simbol-simbol agama,
tetapi lelaku sosialnya jauh dari ajaran agama tidak menistakan agama? Ribuan
pertanyaan lain, tentang paradoks keagamaan ini penting untuk diajukan.
Sebab, agama semestinya menjadi standar moralitas atau etika
sosial dalam perilaku interaksi antar manusia. Namun, standar itu mulai
‘jungkir balik’ secara dramatik, ketika sejarah panjang peradaban umat manusia
diukur dengan materi, tepatnya ketika kapitalisme yang sesungguhnya lahir
secara utuh (Peter L. Berger, 1990), lewat kapitalisasi agama yang mulai tampak
dari praktik-praktik keshalihan simbolik. Dan, bukankah petani miskin selamanya
tidak akan pernah sanggup membeli sorban bagus untuk mencitrakan keshalihannya,
alih-alih mampu menyumbang masjid dan memanggil media untuk meliput, atau mau
umrah dan naik haji.
Hugh Dalziel Duncan (1997) dalam buku Sosiologi Uang,
melukiskan kapitalisme sebagai peradaban yang bercirikan uang, di mana uang
pertama kali dipercakapkan dalam ranah peristilahan transendental. Perjuangan
demi keadilan ekonomi merupakan reduksi legal dari setiap terma perjuangan demi
keadilan. Pada babak yang lebih matang, perubahan uang dari lambang kejahatan
menjadi lambang kebaikan. Hugh mengutip Bernard de Mandeville bahwa dalam babak
peradaban baru ini agama adalah satu hal dan dagang adalah hal lain. Bagaimana
formasi agama dalam babak sejarah yang dianggap baru sepanjang peradaban?
Wacana agama dan perubahannya hari ini menjadi penggalan
pendek dari garis sejarah peradaban. Hubungan agama dengan negara; hubungan
agama dengan demokrasi; Agamaisasi ilmu pengetahuan; fundamentalisme agama dan
pembaharuan pemikiran bisa jadi merupakan daftar asesoris dari grand
wacana hubungan panjang dan (mungkin) tidak pernah selesai antara agama dengan
perubahan sosial, karena hingga hari ini, agama belum terbukti sukses menjawab
soal kemiskinan yang terus bertambah, jumlah pengangguran yang semakin banyak,
dan bahkan agama justertu dituding melahirkan fanatisme baru, melahirkan
pemelu-pemeluk agama yang tambah tidak rasional dan tak waras dengan perilaku
membela agama secara membabi buta.
Agama sebagai suprastruktur sosial dianggap bukanlah sebuah
entitas otonom yang vakum dari interaksi sosial di luarnya. Bahkan entitas
‘luar agama’ itu bisa jadi mendikte (perubahan) agama (Bryan S. Turner, 1983).
Agama terus berubah mengikuti pergeseran struktur ekonomi dan struktur budaya.
Bahkan, Karen Amstrong dalam A History of God (2001; 464) menggunakan
term Tuhan (God) untuk menggambarkan betapa ‘agama’ terus berubah
berdialektika dengan alam dan struktur sosialnya. Tuhan berevolusi.
Tesis yang dikembangkan Karen Amstrong mensejajarkan agama
dengan ide, filsafat, seni, hukum dan ideologi berada pada posisi super
struktur dari infrastruktur material. Secara substantif tesis ini bukan baru,
bahkan jauh melampaui masa kelahiran Karl Marx (1818), tesis itu diintrodusir
ilmuwan muslim kelahiran Tunisia, Ibn Khaldun (1332–1406). Ibn Khaldun meneliti
pengaruh lingkungan fisik terhadap bentuk-bentuk organisasi sosial primitif dan
modern, hubungan antar kelompok dan berbagai fenomena kultural (kesenian,
kerajinan, ilmu pengetahuan, solidaritas atau kohesi sosial).
Sungguhpun demikian dalam sejarah khasanah intelektual
Islam, tesis semacam ini dipersoalkan sebagai sebuah masalah teologik, bukan
sebuah persoalan keilmuan yang positif dalam matra epistemologik atau
metodologik. Sehingga aktivitas keilmuan yang bertumpu pada metode induktif di
kalangan muslim terhenti karena studi empirik (induktif) yang lahir dari
pendekatan Ibn Khaldun dihampiri secara deduktif-teologik.
Hari ini, agama bagi pemeluknya selalu dipandang sebagai
jawaban mengatasi berbagai kesulitan yang diakibatkan oleh ketidakpastian,
ketidakberdayaan dan keterbatasan. Oleh karena itu, seringkali orang beragama
menjadi sangat agamis hanya ketika ia berada dalam musibah dan masalah. Meski
tak salah ketika manusia menjumpai Tuhan dan taat beragama di saat menderita,
sebagaimana ditulis oleh Komaruddian Hidayat dalam Tragedi Raja Midas
(1998: 42), tetapi akhirnya lelaku seperti itu mereduksi agama di level hanya
sebagai komoditas, yang terus menerus dieksploitasi.
Dampaknya apa? Elite agama hanya hadir secara serius ketika
membincangkan elit, kekuasaan, sehingga ruang-ruang kemiskinan yang seringkali
dipantati para pemodal sebagai sesuatu yang hina nyaris tak pernah
diperbincangkan, dicarikan jalan keluar dan diselesaikan secara serius.
Tengoklah misalnya tentang lembaga keuangan syari’ah, yang hanya mereplikasi
konsep perbankan konvensional, mengislamkan (meng-Arab-kan) istilah-istilah
ekonomi yang tidak “islami” karena tidak berbahasa Arab, praktiknya sama sekali
tak berdampak bagi orang miskin. Hal yang serupa juga terjadi pada
sekolah-sekolah “Islam Terpadu” dengan biaya tak murah, yang tak mungkin
dijangkau oleh orang-orang miskin.
Lantas, jika kebutuhan manusia terhadap agama hanya hadir di
saat-saat manusia mengalami kesulitan menghadapi kenyataan hidup, siapa yang
bisa membantah teori Sigmund Freud dan Karl Marx bahwa ide dan keyakinan
tentang Tuhan itu hanyalah produk dari situasi tak berdaya ketika instansi
sekuler atau orang lain tak sanggup menawarkan jalan keluar dari derita yang
menghimpitnya menjadi relevan, ketika dalam situasi itulah manusia bergegas
menjadikan Tuhan sebagai harapan terakhir untuk mengadukan segala derita hidupnya.
Interpretasi dan praktik agama yang elitis (mengurusi elit),
mereduksi makna agama menjadi simbol-simbol sekaligus menjadikan agama
kehilangan universalitasnya. Islam yang autentik, kini menurut Bassam Tibi
(1999; 27-28) hanya dimaknai sebagai Arab, sehingga menjadi Arabsentris, dan
agama pada akhirnya tidak akan pernah mampu menyuguhkan perubahan sosial secara
riil.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah setiap ada kebuntuan
ide dan gagasan sebagai situasi tak berdaya untuk bertarung secara fair dalam
Pemilu dan di Pilkada juga akhirnya menjadikan isu agama sebagai jalan dan
senjata terakhir, seakan-akan agama bisa menjadi kekuatan magis yang
bisa mempengaruhi pemilih, meski para calon atau politisi itu tak menawarkan
konsep apapun tentang perubahan sosial berbasis agama atau tawaran konsepsi
agama untuk perubahan daerah dan rakyat yang lebih baik.
Simpulnya, mengapa agama dengan mudah dinistakan? Karena
kita sebagai pemeluk agama secara sadar atau tidak sadar seringkali menistakan
agama, kita seringkali melakukan politisasi ayat, menunggangi agama sebagai
alat untuk mencapai tujuan, dan orang lain di luar agama, hanyalah menilai dan
meniru apa yang sedang dipraktikkan oleh mayoritas elite agama. Atau,
jangan-jangan perjuangan elite agama hanya berpikir dan membela kepentingan
elit mereka saja, tanpa berpikir kesejahteraan umat yang lebih luas? Wallahu
a’lam.
Posting Komentar