Memperkuat Demokrasi Lokal

Memperkuat Demokrasi Lokal

 


Pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung telah memasuki dasawarsa kedua setelah pertama kali digelar pertengahan tahun 2005. Pilkada sebagai perwujudan dari demokrasi lokal adalah sebuah momentum yang layak untuk terus menerus didiskusikan. Berbagai pendapat muncul, ada yang menilai Pilkada ini telah gagal dalam menyejahterakan rakyat dan dianggap terlalu boros.

Terlepas dari apapun pendapat masyarakat, Pilkada dalam hubungannya dengan otonomi daerah sebagai amanat reformasi memang harus dievaluasi dan ditata kembali, terutama terkait dengan partisipasi rakyat di tingkat lokal, karena bagaimanapun pemberian kedaulatan rakyat daerah kepada elitnya masih diwarnai ketidakjelasan.

Dalam beberapa Pilkada yang digelar di seluruh daerah di Indonesia, terdapat beberapa persoalan substansial yang justru mereduksi tujuan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung, sehingga hal ini berpotensi gagalnya pemcapaian demokrasi secara substansial, apalagi jika kemudian kepala daerah yang terpilih temasuk kepala daerah yang tak tahu berterimakasih kepada rakyat yang telah memilihnya.

Pertama, politik transaksional. Politik transaksional ini muncul dalam beragam wajah, seperti mobilasasi pejabat hingga tingkat paling bawah, dan penyalahgunaan kewenangan dan program oleh calon petahana (incumbent). Wajah lain dari politik transaksional ini adalah memosisikan rakyat pemilih sebagai ‘penjual suara' atau kaula dalam terminologi Almond (1984), sehingga menjadikan Pilkada tidak lagi bersifat rasional, dan calon kepala daerah setelah terpilih tak perlu merasa berkewajiban memenuhi janji-janji kampanyenya, karena yang terjadi adalah sebuah transaksi jual beli.

Kedua, sentralisasi partai politik. Kebijakan partai politik yang masih sentralistik tidak akan pernah sejalan dengan semangat otonomi daerah. Institusi partai-partai di daerah hanya berperan sebagai replikasi kepentingan dari elit partai di pusat. Dalam konteks ini, calon kepala daerah yang akan dipilih oleh rakyat bukanlah orang yang berasal dari bawah, karena calonnya dimungkinkan melalui pencalonan oleh partai di daerah biasanya direduksi dengan surat rekomendasi berupa ‘titipan' nama-nama calon oleh elit partai di tingkat pusat. Sehingga kasus borong partai tambah marak terjadi.

Konteks serupa ini terjadi di beberapa daerah di Lampung, yang akhirnya menjadikan Pilkada langsung oleh rakyat menjadi tak sepenuhnya bermakna, karena mereka memilih orang yang tidak diproses melalui kelembagaan arus bawah partai, atau dalam istilah lain memilih orang-orang yang telah dipilih dan ditentukan pusat.

Memperkuat Demokrasi Lokal

Ada beberapa hal sebagai prasyarat untuk memperkuat demokrasi lokal ke depan. Pertama, regulasi. Dari segi kebijakan, sesungguhnya pemilihan kepala daerah langsung masih menyisakan banyak persoalan terutama terkait urgensi rekomendasi pimpunan pusat partai, maka ke depan, diperlukan upaya untuk membahas secara khusus dan serius revisi undang-undang Pilkada, termasuk juga melakukan revisi terhadap UU Partai Politik secara lebih substansial soal pentingnya  parpol mendukung pelaksanaan otonomi daerah dengan memberlakukan desentralisasi parpol.

Kedua, otonomi pemilih. Rakyat seharusnya otonom dari berbagai ekspansi dan pemaksaan baik oleh tim sukses, kandidat, maupun parpol pengusung pasangan calon. Sehingga partisipasi politik rakyat dalam setiap tahapan, termasuk partisipasi untuk masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan pemberian suara adalah murni kesadaran sendiri dan tidak ada campur tangan serta mobilisasi.

Ketiga, netralitas birokrasi. Birokrasi harus benar-benar netral, sehingga kompetisi antara pasangan calon berjalan lebih sehat. Hal ini penting, selain untuk menjamin netralitas birokrasi, juga sangat efektif untuk menghindari terjadinya penyimpangan anggaran daerah untuk kepentingan kampanye calon kepala daerah secara terselubung.

Kita berharap hegemoni pusat dan pengaruh kekuasaan negara selama masa pemerintahan Orde Baru di Indonesia yang sangat dominan, akan terkikis habis paska reformasi dan penerapan otonomi daerah, bukan malah sebaliknya otonomi daerah menjadi lahan desentralisasi korupsi, yang melahirkan para kepala daerah yang lalim.

Demokrasi lokal adalah berkaitan erat dengan akuntabilitas, kompetisi, keterlibatan, dan tinggi rendahnya kadar untuk menikmati hak-hak dasar bagi pemilih di daerah. Sebagai konsekuensi paska pelaksanaan sistem demokrasi prosedural lewat Pilkada adalah bagaimana berdemokrasi tak hanya sebatas memilih gubernur, bupati/walikota dan wakilnya lalu selesai, melainkan juga menjadi media sarana berkompetisi bagi kepala daerah terpilih untuk mendorong daerahnya maju dan berdaya saing. (*)

0/Post a Comment/Comments