Identitas dan Demokrasi

Identitas dan Demokrasi

 


Diskursus soal demokrasi dan identitas tak pernah selesai. Mulai dari tentang ancaman demokrasi liberal terhadap identitas lokal. Di ruang lebih rendah, identitas cenderung mengancam keberlangsungan demokrasi, ide-ide kerdil memenuhi ruang-ruang publik lokal lewat yang sedang menghelat pemilihan kepala daerah (Pilkada). Slogan ‘orang asli’ dan ‘piye-piye wonge dewe’ disemburkan terus menerus, seakan-akan ‘yang lian’ adalah ‘bukan kita’

Slogan aneh para calon kepala daerah itu seakan menakbirkan bahwa mereka sebenarnya fakir gagasan yang lebih penting, karena alih-alih slogan itu menawarkan solusi atas masalah dasar rakyat, yang lahir justru keterpecahan yang tajam di antara pendukung.

Hal menarik dari wacana ini adalah saat identitas berusaha dibenturkan dengan sistem demokrasi liberal yang dianggap sebagai bukan identitas demokrasi Indonesia yang dicita-citakan. Maka, hal ini memerlukan jawaban yang lugas, pada saat ekspektasi publik terhadap output Pilkada sangat tinggi. Maka di sinilah tulisan ini berkepentingan memberikan jawaban terhadap kekhawatiran ancaman tergerusnya identitas (nilai-nilai lokal) dari praktik demokrasi yang sedang berlangsung.

Dalam buku Communication Between Cultures, Stella Ting Toomey (2009) menjelaskan bahwa identitas merupakan refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi. Identitas pada dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita. Sementara itu, Gardiner W. Harry dan Kosmitzki Corinne melihat identitas sebagai pendefinisian diri seseorang sebagai individu yang berbeda dalam perilaku, keyakinan dan sikap.

Praktik demokrasi di Indonesia, memiliki refleksi, cerminan dan pendifinisian yang sebenarnya berbeda dari praktek demokrasi di negara lain. Memosisikan demokrasi secara proporsional di tengah identitas nasional menjadi sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman bahwa tak selamanya istilah-istilah yang tidak lahir di Indonesia bertentangan dengan nilai-nilai ke-Indonesia-an. Bahwa demokrasi juga memiliki nilai-nilai lokalitas, dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.

Dalam perbincangan panjang, para ilmuwan Indonesia sering menuduh Indonesia kehilangan identitasnya dengan menjadi pengekor demokrasi negara-negara Barat, padahal Indonesia memiliki identitas sendiri, identitas nasional yang dikonstruksi dari identitas dan etnisitas keragaman suku, agama, budaya dan bahasa, yang kemudian menyimpul dalam identitas Bhinneka Tunggal Ika.

Identitas nasional kita dibentuk berdasarkan keragaman agama, etnis, suku dan antar-golongan, keragaman tersebut merupakan realitas empirik yang tidak bisa dipungkiri. Keragaman, karena itu, sejak dulu dikenal sebagai potensi berbangsa dan bernegara, sehingga founding fathers  menetapkan Indonesia sebagai negara yang bukan menjadi negara agama atau negara sekuler.

Demokrasi hadir sebagai common platform di tengah keragaman itu, mendudukkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, dan menjadikan kesejahteraan sebagai orientasi utamanya.  Demokrasi adalah pilihan yang berada tepat di tengah-tengah antara agama dan skuler.

Persoalan siapa yang  memperkenalkan, dan memaknai selanjutnya, sehingga kenyataan keragaman menjelma dalam bentuk yang ruwet, memendam dendam kesumat yang tidak ada hentinya adalah persoalan yang memang tak akan pernah selesai.

Perdebatan-perdebatan panjang tersebut sangat tidak produktif dan hanya mengesankan pengulangan-pengulangan dari perdebatan panjang menjelang awal kemerderkaan, mempertentangkan agama dan negara, dan setiap rezim akhirnya menjalankan konsepsi bernegara berdasarkan watak rezimnya, dari praktik demokrasi terpimpin hingga demokrasi pancasila yang abstrak, namun intinya demokrasi adalah tetap menjadi pilihan terbaik.

Demokrasi dan Identitas

Apakah demokrasi yang kita praktikkan hari ini mengancam identitas nasional, kedaulatan dan kemandirian politik Bangsa? Menarasikan demokrasi sebagai yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia,demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat tentu saja bukanlah ancaman terhadap identitas nasional dan kemandirian politik bangsa, demokrasi sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggerus nilai  dan identitas lokal.

Demokrasi yang dipraktikkan hari ini adalah demokrasi yang didasarkan pada teori kontrak sosial sebagaimana yang dikenalkan oleh John Locke, Thomas Hobbes, dan J.J. Rousseu, kekuasaan yang didapatkan para wakil rakyat (Presiden, Kepala Daerah dan Anggota Legislatif) adalah mandat dari rakyat, buah dari modal sosial (social capital) yang dibangun lewat kepercayaan publik, norma dan jaringan yang terus menerus dipelihara dan dirawat, dan ini adalah kontrak sosial yang harus dibayar mahal jika dicederai selama lima tahun ke depan.

Rakyat telah membuat perjanjian sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas hak individual, dan mereka yang terpilih, bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut untuk menjalankan perjanjian yang telah dibuat. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land), yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara yang akan dilaksanakan dalam kurun pemerintahan lima tahun ke depan.

Mereka yang terpilih juga harus mampu menjamin prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat, yang melibatkan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat, kedaulatan rakyat tidak boleh berhenti di ranah prosedural, tapi juga sudah harus menyentuh hal-hal substansial.

Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian menurut Jimly Asshiddiqie, negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.

Al hasil, sebagai yang terpilih atau sebagai kontestan demokrasi yang akan terpilih nanti, diharapkan para pemimpin kita mewarisi ideologi politik Soekarno, Presiden, Wakil Rakyat dan Kepala Daerah berkewajiban menjawab harapan sekaligus keraguan rakyat tentang demokrasi yang mulai dianggap sebagai prosedur pencapaian kekuasaan elit politik dan tak lagi berorientasi kepada kesejahteraan rakyat sebagaimana harusnya demokrasi itu bergerak secara lebih substantif.

Prinsip utama kedaulatan politik sebagaimana diharapkan Soekarno, yang wajib diteruskan adalah perikemanusiaan, nasionalisme yang berperikemanusiaan, dan demokrasi. Demokrasi Pancasila adalah jawaban atas demokrasi liberal yang dianggap gagal mendorong Indonesia mendekati tujuan revolusi yang dicita-citakan, yakni berupa masyarakat adil dan makmur. (*)


0/Post a Comment/Comments